Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan (AI) telah berkembang pesat dan mulai diterapkan di berbagai bidang—mulai dari layanan kesehatan, sistem perbankan, hingga pengelolaan kota pintar. Indonesia pun tidak ingin tertinggal. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi) tengah menyiapkan kerangka regulasi nasional yang komprehensif untuk AI. Regulasi ini bertujuan melindungi privasi warga, mencegah bias algoritmik, dan memastikan keamanan sistem tanpa mengekang inovasi. Bocoran dokumen Komdigi yang beredar mengungkap secara detail prinsip dasar, kerangka kerja, serta prioritas strategis yang akan menjadi fondasi regulasi. Dengan semakin strategisnya peran AI dalam mendorong efisiensi dan produktivitas nasional, kesiapan regulasi akan menjadi penentu keberhasilan adopsi teknologi ini di Indonesia.
Latar Belakang Kebijakan AI di Indonesia

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, Indonesia telah memiliki pijakan hukum untuk pengelolaan data dan transaksi digital. Namun, belum ada payung hukum khusus yang mengatur pengembangan dan penggunaan AI secara menyeluruh. Padahal, teknologi AI telah merambah layanan publik: chatbots untuk pelayanan administrasi, sistem deteksi penyakit berbasis citra medis, hingga analisis data besar untuk kebijakan publik. Tanpa regulasi khusus, potensi pelanggaran hak warga, diskriminasi algoritmik, dan ketergantungan pada platform global dapat meningkat. Komdigi melihat urgensi untuk menutup celah ini, sehingga pembentukan regulasi AI menjadi langkah strategis bagi kedaulatan teknologi nasional. Proses ini melibatkan diskusi lintas kementerian, akademisi, dan pelaku industri untuk merumuskan kebutuhan riil di lapangan.
Tujuan dan Prinsip Utama Regulasi
Dokumen internal Komdigi menyebutkan bahwa regulasi AI akan berlandaskan lima prinsip utama. Pertama, transparansi, agar setiap algoritma dan data yang digunakan dapat diaudit dan dipahami publik. Kedua, akuntabilitas, sehingga pihak pembuat dan pengelola AI bertanggung jawab atas dampak dan keputusan sistem. Ketiga, non-diskriminasi, menjamin tidak ada kelompok masyarakat yang dirugikan karena bias data. Keempat, keamanan, memastikan sistem AI tidak mudah diretas atau disalahgunakan. Kelima, inovasi berkelanjutan, memberikan ruang bagi riset dan pengembangan dengan insentif fiskal dan pendanaan riset. Dengan prinsip ini, regulasi tidak hanya menjadi beban kepatuhan, tetapi juga pendorong ekosistem AI yang sehat dan kompetitif secara global.
Kerangka 3P: Kebijakan, Sumber Daya, dan Platform
Komdigi merancang regulasi AI berdasarkan kerangka 3P: Policy, People, dan Platform. Pada komponen Policy, fokus pada penyusunan undang-undang serta peraturan pelaksana yang mengatur tata kelola AI, termasuk pendaftaran model, audit, dan sanksi bagi pelanggaran. People menitikberatkan pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia lewat program sertifikasi, pelatihan, dan kolaborasi riset antara perguruan tinggi dengan industri. Platform berkaitan dengan penyediaan infrastruktur komputasi awan lokal yang terjangkau, sehingga startup dan perusahaan skala menengah dapat mengakses sumber daya komputasi untuk melatih dan menjalankan model AI. Dengan kerangka ini, regulasi akan mampu mengakomodasi kebutuhan semua pemangku kepentingan.
Prioritas Strategis Komdigi dalam Regulasi AI
Dalam dokumen bocoran, Komdigi menetapkan lima prioritas strategis yang akan menjadi fokus utama regulasi. Pertama, kesehatan, dengan pengembangan AI untuk diagnosis, prediksi pandemi, dan manajemen rumah sakit pintar. Kedua, reformasi birokrasi, memanfaatkan AI untuk otomasi pelayanan publik dan penanganan data kependudukan. Ketiga, pengembangan talenta, melalui beasiswa riset dan program magang industri. Keempat, smart cities mobility, yang mencakup kendali lalu lintas cerdas, manajemen energi, dan sistem keamanan publik berbasis analitik video. Kelima, ketahanan pangan, memakai AI untuk prediksi hasil panen dan optimalisasi distribusi logistik. Setiap sektor akan mendapatkan pedoman spesifik terkait standar keselamatan, audit, dan pelaporan.
Tantangan dan Peluang bagi Industri
Penerapan regulasi AI membawa tantangan dan peluang di kalangan pelaku industri. Di satu sisi, perusahaan harus menyesuaikan model AI agar memenuhi standar audit dan mengalokasikan anggaran untuk kepatuhan. Ini diperkirakan menambah biaya operasional sebesar 10–15%. Di sisi lain, kepastian hukum dan insentif pemerintah—seperti pengurangan pajak riset—membuka peluang pendanaan serta kemitraan dengan lembaga publik. Unicorn dan startup lokal telah membentuk divisi kepatuhan internal dan merancang ulang alur kerja pengembangan produk. Dengan regulasi jelas, kepercayaan konsumen meningkat sehingga adopsi solusi AI di sektor tradisional seperti perbankan, logistik, dan manufaktur diperkirakan akan tumbuh signifikan.
Perbandingan dengan Regulasi Global
Di tingkat internasional, beberapa negara sudah lebih dulu merumuskan regulasi AI. Uni Eropa menerapkan EU AI Act yang mengklasifikasikan aplikasi AI berdasarkan tingkat risikonya, sementara Amerika Serikat mengeluarkan pedoman dari lembaga federal tanpa undang-undang tunggal. Tiongkok lebih menitikberatkan pada pengawasan dan control data massa. Regulasi Indonesia diproyeksikan menjadi “jalan tengah”: protektif terhadap hak warga tanpa menghambat inovasi. Pendekatan insentif riset dan audit risiko menjadi adopsi terbaik dari praktik global. Dengan mempelajari kelebihan dan kekurangan regulasi negara lain, Indonesia dapat membangun kerangka hukum yang adaptif dan relevan dengan kondisi domestik.
Langkah Selanjutnya dan Dampak Jangka Panjang

Komdigi menargetkan penyelesaian draf regulasi pada kuartal III 2025, dilanjutkan pembahasan dengan DPR RI dan sosialisasi ke pelaku industri. Setelah pengesahan, pemerintah akan menerbitkan peraturan pelaksana dan standar audit AI. Dalam jangka panjang, regulasi ini diharapkan menjadi fondasi tata kelola teknologi di Indonesia, menciptakan ekosistem AI yang inklusif, aman, dan berdaya saing tinggi. Pengembangan talenta dan infrastruktur lokal turut mendukung kedaulatan digital nasional. Dengan sinergi antara regulasi, industri, dan akademisi, Indonesia siap menghadapi era revolusi industri 4.0 dengan pijakan hukum yang kuat dan inovatif.